Minggu, 22 Juni 2014

LAPORAN OBSERVASI KESASTRAAN DESA PADURENAN, GEBOG, KUDUS



29/09/2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di setiap daerah pastilah memiliki sejarah yang berbeda-beda. Sejarah dari suatu daerah tersebut bisa mengandung didalamnya bermacam-macam jenis cerita tradisional, misalnya saja legenda, dongeng rakyat, mitos, epos dan sebagainya. Di suatu daerah yang kaya akan cerita-cerita tradisional justru sering dilupakan oleh masyarakatnya sendiri.Masyarakat seolah merasa kurang peduli dengan keberadaan sejarah kebudayaan dari daerahnya.
Legenda yang termasuk dalam ceritra tradisional sering memiliki atau berkaitan dengan kebenaran sejarah dan kurang berkaitan dengan masalah kepercayaan supranatural. Sedangkan dongeng rakyat merupakan salah satu cerita tradisional yang diceritakan secara turun-temurun dan lebih banyak diceritakan secara lisan. Hal tersebut mengakibatkan cerita menjadi sedikit berbeda dari mulut ke mulut. Walaupun pada intinya hampir sama. Dalam dongeng rakyat biasanya mengajarkan nilai-nilai moral yang disampaikan dari cerita tersebut.
Mitos dapat dipahami sebagai sebuah cerita yang berkaitan dengan kehidupan supranatural yang lain, yang dianggap suci maupun ghaib. Kebenaran cerita mitos sebenarnya dapat dipertanyakan, tetapi masyarakat pemilik mitos tersebut tidak pernah mempersoalkannya. Mereka hanya sekedar percaya dan meyakini kuat akan adanya mitos, terutama dikalangan masyarakat Jawa.
Legenda (legends) itu sendiri dapat dipahami sebagai cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata (Mitchell dalam Nurgiyantoro,2010: 182). Mengenai mitos, Huck dkk membedakan mitos kedalam empat jenis berdasarkan isi yang dikisahkan, yaitu 1) mitos penciptaan (creation myths), 2) mitos alam (nature myths), 3) mitos kepahlawanan (hero myths), mitos sejarah (Nurgiyantoro, 2010: 175).
Selain itu, ada pula epos, epos merupakan sebuah cerita panjang yang berbentuk syair atau puisi dengan pengarang yang tidak pernah diketahui, anonim. Epos berisi cerita kepahlawanan seorang tokoh hero yang luar biasa hebat baik dalam kesaktian maupun kisah petualangannya (Nurgiyantoro, 2010: 26).
Sejarah merupakan rangkaian peristiwa masa lalu yang sarat akan makna bagi kehidupan umat manusia, baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kesadaran akan sejarah perlu ditumbuhkembangkan agar manusia bisa mengenali jati diri dan menjadi masyarakat yang tidak mudah tergoyahkan, terutama  dalam era globalisasi yang banyak membawa pengaruh yang begitu kuat sehingga mampu menggeser nilai-nilai kehidupan terutama nilai sejarah dan kebudayaan. Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya pelestarian dari sejarah suatu daerah. Hal ini dilakukan agar sejarah dari suatu daerah tidak dilupakan oleh masyarakatnya, manusia selalu ingat dengan asal-usulnya, senantiasa bersyukur dan menjadikan manusia tidak takabbur/sombong.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini ada empat:
1.      Bagaimana legenda desa Padurenan?
2.      Bagaimana dongeng rakyat yang ada di desa Padurenan?
3.      Bagaimana mitos yang ada di desa Padurenan?
4.      Bagaimana epos yang ada di desa Padurenan?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam makalah ini ada empat:
1.      Mengetahui legenda desa Padurenan.
2.      Mengetahui dongeng rakyat desa Padurenan.
3.      Mengetahui mitos yang ada di desa Padurenan.
4.      Mengetahui epos yang ada di desa Padurenan.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil laporan observasi di desa Padurenan ini adalah:

1.Bagi Penulis
Bagi penulis, dapat menambah pengalaman, wawasan dan pengetahuan terutama mengenai asal usul suatu daerah terutama legenda, dongeng rakyat, mitos dan epos yang berkembang di desa Padurenan.

2. Bagi Instansi Pendidikan
Bagi instansi pendidikan, dapat dijadikan sebagai literatur maupun sumber wacana di satuan pendidikan, terutama sebagai literatur karya tulis di perpustakaan.

3. Bagi Masyarakat Umum
Bagi masyarakat umum, mengetahui sejarah dari suatu daerah dan dapat digunakan pula sebagai literatur maupun sumber referensi dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya. Dengan mengetahui sejarah suatu daerah masyarakat tidak lupa dengan asal-usulnya sehingga mereka selalu ingat, senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan semakin berhati-hati.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN
Ø  Deskripsi Desa Padurenan
·           Data Statistik Penduduk Desa Padurenan
o   Jumlah penduduk awal bulan Maret               : 4529 orang
o   Pendatang laki-laki pada bulan Maret                        : 2 orang
o   Pendatang perempuan pada bulan Maret        : 1 orang
o   Jumlah penduduk bulan Maret                       : 4530 orang

·           Struktur Desa Padurenan
PADURENAN
 
Dusun Krajan
Dusun Ampeyan
                                                                      
Dukuh Krajan I
Dukuh Krajan II
Dukuh Jerabang
Dukuh Randu Kuning
Dukuh Salak
Dukuh Jetis
 




·                     Batas wilayah Desa Padurenan
Batas
Desa/Kelurahan
Kecamatan
Sebelah utara
Daren
Nalumsari
Sebelah selatan
Getassrabi
Gebog
Sebelah timur
Karangmalang
Gebog
Sebelah barat
Getassrabi
Gebog

Ø  Jadwal Penelitian
1.      Selasa, 2 April 2013          : Observasi ke rumah Kyai Aminuddin (narasumber) di desa Padurenan.
2.      Senin, 15 April 2013         : Meminta data mengenai desa Padurenan ke balai desa Padurenan.
3.      Jum’at, 19 April 2013       : Membagikan angket kepada masyarakat desa Padurenan.
4.      Sabtu, 20 April 2013         : Membagikan angket ke perpustakaan daerah dan melanjutkan menuju desa Padurenan untuk mengambil gambar makam Mbah Muhammad Syarif dan Mbah Mawardi.
5.      Senin, 22 April 2013         : Membagikan angket di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

B.     Legenda Desa Padurenan
Legenda adalah cerita rakyat dari zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah.
Desa Padurenan merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Gebog kabupaten Kudus. Desa Padurenan memiliki potensi yang begitu banyak, di desa tersebut juga memiliki beberapa cerita tradisional, termasuk didalamnya ada legenda, dongeng rakyat, mitos dan epos. Dalam suatu legenda biasanya terkait pula mengenai nama tempat dalam suatu daerah. Nama desa Padurenan itu sendiri terbentuk dari beberapa versi, diantaranya:
1.      Diberi nama Padurenan karena pada abad ke-16ada seorang tokoh dari Madura yang bernama Raden Muhammad Syarif (satu generasi dengan Sultan Agung, masih zaman perwalian) datang dari Madura kemudian menuju Jepara melalui jalur laut. Beliau merupakan putra dari Tumenggung Yudhonegoro yang diberi julukan Macan Wulung dan pada saat itu menjabat sebagai Raja Sumeneb, Madura. Beliau memulai perjalanan darat dari Jepara sampai Kudus. Raden Muhammad Syarif sangatlah berjasa dalam proses islamisasi di Kudus bagian utara selain walisongo yang juga berdakwah menyebarkan Islam di Kudus bagian utara yaitu Sunan Muria. Karena jasa beliau dalam menyebarkan agama Islam di Kudus utara dan karena beliau merupakan tokoh sentral di daerah tersebut yang berasal dari Madura, sehingga daerah tersebut disebut Padurenan(Madura-Madurenan-Padurenan).
Simpulan: Dinamakan desa Padurenan karena pepunden desa Padurenan yaitu Mbah Muhammad Syarif berasal dari Madura.
2.      Padurenan berasal dari bahasa Jawa yaitu padu dan leren, maksudnya yaitu apabila ada masalah  atau sesuatu yang diperdebatkan/padu di daerah lain yang tidak dapat leren/diselesaikan, maka jika masalah tersebut dibawa ke desa Padurenan (padu dan leren) maka masalah tersebut akan terselesaikan, karena mengingat bahwa desa tersebut banyak ulama dan merupakan pusat pengkajian ilmu agama. Kemudian desa tersebut berasal dari kata padu dan leren menjadi Padurenan.
Simpulan: Dinamakan desa Padurenan karena jika ada padu/perdebatan dan sampai di desa itu langsung leren/berhenti.
3.      Dinamakan desa Padurenan karena dahulunya ketika Mbah Syarif membuka lahan, beliau menemukan buah duren atau durian dan daerah tersebut merupakan pusat durian. Jadi dinamakan desa Ndorenan dan menjadi Padurenan. Namun saat ini, pohon-pohon durian yang ada di desa Padurenan sudah tidak ada sama sekali. Mengenai tidak adanya pohon duren sekarang ini juga tidak diketahui jelas mengenai alasannya.
Simpulan: Dinamakan desa Padurenan karena dulunya banyak pohon durian.

Simpulan keseluruhan: Berdasaran penelitian yang kami lakukan di desa Padurenan kami menyimpulkan bahwa dinamakan desa Padurenan karena pepunden desa Padurenan yaitu Mbah Muhammad Syarif berasal dari Madura. Kemudian nama desa tersebut berawal dari Madurenan – Padurenan.
Nilai-nilai yang dapat diambil dari legenda desa Padurenan meliputi
1)        Nilai religius dari legenda tersebut yaitu kita hendaknya memiliki sifat sabar dan penuh keikhlasan dalam menyiarkan agama islam. Seperti yang dilakukan oleh Raden Muhammad Syarif dalam menyebarkan agama islam, walaupun datang dari kota yang amat jauh beliau.
2)        Nilai toleransi yaitu kita harus saling membantu dalam menyelesaikan masalah.



C.    Dongeng Rakyat Desa Padurenan
Dongeng  rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan.
Selain Sunan Kudus dan Sunan Muria yang banyak berjasa dalam islamisasi di Kudus, jika mau menelisik lebih jauh ternyata masih banyak pula tokoh-tokoh agama yang berjasa banyak dalam proses islamisasi di Kudus. Misalnya saja Raden Muhammad Syarif. Beliau lebih banyak berperan di Kudus utara. Putra Bupati Sumenep, Tumenggung Macan Wulung Yudonegoro, yang diduga hidup sezaman dengan Sunan Kudus, mulai menyebarkan Islam dari kawasan Mantingan, Jepara, sampai kecamatan Gebog, Kudus. Daerah-daerah yang pernah dilewati dan disinggahi Mbah Syarif, banyak sekali desa maupun dukuh yang diberi nama oleh Mbah Syarif. Dalam penamaan desa maupun dukuh-dukuh itu, Mbah Syarif biasanya melihat dari kondisi beliau sendiri saat di daerah tersebut maupun kondisi daerah itu.
Sebelum Mbah Syarif datang ke Padurenan, di desa tersebut ada seorang tokoh yang terkenal dengan kepandaiannya yang bernama Mbah Rono. Setelah Mbah Syarif datang dan menyebarkan agama Islam di Padurenan, pengaruh dan kedudukan Mbah Rono semakin tergeser, dan Mbah Rono merasa ajaran Mbah Syarif menyimpang dari adat jawa. Hal itu membuat rasa iri di hati Mbah Rono dan menjadikan dendam kepada Mbah Syarif. Setiap Mbah Syarif berdakwah selalu diganggu dan dihalang-halangi oleh Mbah Rono.
Pada suatu hari, Mbah Rono mengajak Mbah Syarif untuk bertarung ayam jago. Konon, ayam jago Mbah Rono adalah jelmaan dari petel.Karena ayam jago Mbah Syarif kalah tanding dengan ayam jago Mbah Rono, kemudian pada pertarungan selanjutnya Mbah Syarif menyabda godemmenjadi ayam jago, sehingga dapat mengalahkan ayam jago Mbah Rono yang disabda dari petel.
Banyak sekali peninggalan-peninggalan dan karamah Mbah Syarif. Namun tidak banyak peninggalan yang tertinggal. Mbah Syarif pernah mendirikan masjid dengan satu tiang soko, jadi seolah-olah bentuknya seperti payung yang hanya bertumpu pada satu tiang. Namun setelah terjadi pemugaran berkali-kali, bentuk masjid tersebut sudah tidak seperti aslinya lagi. Peninggalan lainnya yaitu belik doso atau sepuluh belik. Konon, kesohoran Mbah Syarif ada orang yang tidak menyukainya. Untuk menghindari orang yang tidak menyukai itu, beliau membuat belik agar yang dirusak adalah beliknya. Karena biasanya orang yang benci terhadap orang lain, jika tidak bertemu dengan yang dibenci, maka barangnya yang dirusak. Begitu juga dengan Mbah Syarif, agar kepunyaannya yang dirusak, maka beliau membuat belik. Setiap membuat belik, selalu dirusak oleh orang lain. Hingga tersisa satu belik yang sampai sekarang masih dirawat oleh masyarakat yaitu belik sirih dan dimanfaatkan untuk berwudlu.
Di setiap daerah-daerah yang dilewati dan disinggahi, beliau selalu berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam. Mbah Syarif juga memiliki banyak murid, diantaranya yang berada di desa Padurenan yaitu Mbah Suto dan Mbah Mawardi. Mbah Suto yang sudah disabda Mbah Syarif menjadi setan selalu saja mengganggu masyarakat. Hal itu membuat Mbah Mawardi selaku murid Mbah Syarif dan tokoh agama di desa Padurenan menjadi geram dengan tingkah Mbah Suto.
Sekitar tahun 1950 M, Mbah Suto diusir oleh Mbah Mawardi dengan berkelahi dan adu fisik. Setiap Mbah Mawardi beradu dengan Mbah Suto, beliau pasti mampu menandingi kekuatan Mbah Suto. Misalnya saja ketika mereka beradu dan Mbah Suto menembus dinding, Mbah Mawardi juga dapat melakukan hal yang sama. Pernah juga Mbah Suto berjalan diatas padi dan Mbah Mawardi dapat pula melakukan hal yang sama. Namun, Mbah Mawardi hanya dapat melakukan hal itu saat beradu dengan Mbah Suto.
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa dongeng rakyat desa Padurenan bermula dari kedatangan Mbah Syarif ke desa tersebut yang sebelumnya sudah ada seorang tokoh yang terkenal dengan kepandaiannya yang bernama Mbah Rono. Kedatangan Mbah Syarif dalam menyebarkan agama Islam di Padurenan mengakibatkan kedudukan Mbah Rono semakin tergeser dan menurut Mbah Rono ajaran Mbah Syarif menyimpang dari adat jawa karena Mbah Syarif lebih mengutamakan syari’at Islam bukan adat jawa sehingga Mbah Rono merasa iri hati dan dendam terhadap Mbah Syarif.
Akibat dendam tersebut Mbah Rono pun mengajak Mbah Syarif untuk bertarung ayam jago. Ayam jago Mbah Rono adalah jelmaan dari petel. Namun karena ayam jago Mbah Syarif kalah tanding dengan ayam jago Mbah Rono, kemudian pada pertarungan selanjutnya Mbah Syarif menyabda godemmenjadi ayam jago, sehingga dapat mengalahkan ayam jago Mbah Rono yang disabda dari petel.
Karena semasa hidupnya Mbah Syarif tinggal di desa Padurenan, beliau meninggalkan beberapa peninggalan meliputi: sebuah Masjid, mustaka dari tanah liat, belik doso tetapi belik yang masih ada sampai sekarang adalah belik sirih.
Nilai yang terdapat dalam dongeng rakyat yaitu:
1)        Nilai religius dari dongeng rakyat yang ada di desa Padurenan yaitu, sebagai manusia kita wajib percaya atas semua kuasa dan kehendak Allah SWT misalnya saja Mbah Syarif menyabda godem menjadi seekor ayam jago, seketika itu atas kuasa dan kehendak Allah SWT, berubahlah godem menjadi seekor ayam jago
2)        Nilai toleransi dari dongeng rakyat yang ada di desa Padurenan yaitu, sebagai manusia kita harus saling menghormati dan menghargai orang lain misalnya saja Mbah Syarif menerima ajakan Mbah Rono untuk melakukan pertarungan ayam jago
3)        Nilai budaya dari dongeng rakyat yang ada di desa Padurenan yaitu, sebagai generasi penerus bangsa kita harus melestarikan kekayaan budaya dan tradisi (adat kebiasaan) yang terdapat di suatu daerah  misalnya saja di desa Padurenan yaitu tradisi Mauludan Jawian.


D.    Mitos Desa Padurenan
Mitos adalah cerita suatu bangsa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung penafsiran asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti yang mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
Ketika Muhammad Syarif hendak membangun masjid ada seorang dari desa Daren (sebelah utara desa Padurenan) ingin mengabdi (ngawulo) kepada beliau. Orang tersebut bernama Mbah Suto. Di perintah apa saja,Mbah Suto selalu mentaati. Namun ada satu hal yang sangat sulit ditaati oleh Mbah Sutoyaitu jika diperintah beribadah, walaupun Mbah Suto pernah beribadah namun kesukaannya adalah nyandu/nyeret.
Diceritakan bahwa suatu hari Muhammad Syarif hendak sholat dan kebetulan Mbah Suto sedang nyandu/merokok di pengimaman masjid. Karena ketahuan Muhammad Syarif Mbah Suto dipukul dengan sajadah seraya berkata, “Perbuatanmu seperti setan, pergilah dari sini!” Atas kehendak Allah, seketika itu hilanglah wujud kemanusiaan Mbah Suto dan menjelma menjadi wujud setan. Karena kejadian ini Muhammad Syarifmerasa sangat menyesal sekali. Namun mau bagaimana lagi ini sudah takdir Allah SWT yang tidak bisa dihindari dan tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula.
Berhubung pembangunan masjid sudah selesai dan Mbah Suto sudah bekerja keras, maka diapun tidak mau pindah dari masjid tersebut. Mbah Suto minta tempat di sekitar masjid. melihat jasa-jasa Mbah Suto Muhammad Syarif pun tidak tega. Akhirnya Mbah Suto diberi tempat di belakang masjid (di belakang pengimaman). Karena Mbah Suto sudah merasa nyaman dengan tempatnya di belakang masjid,Mbah Suto berpesan kepada masyarakat Padurenan: “Hai masyarakat Padurenan dan anak cucunya  kalau kalian memiliki hajat walaupun hanya mendirikan gubug janganlah lupa untuk membuat selametan atau sesajen guna memberikan makanan kepadaku. Berhubung sekarang makananku bukan lagi nasi, ketela dan minumku bukan lagi kopi, maka sebagai gantinya adalah degan kelapa dan kembang menyan dan jangan lupa candu yang menjadi kesenanganku. Kalau sampai kalian tidak menaati, ingatlah! Semuanya akan saya hajar.” Mendengar ucapan Mbah Suto yang demikian, banyak sekali masyarakat Padurenan yang takut sehingga mereka melaksanakan pesan tersebut. Mereka takut apabila tidak melaksanakan perintah Mbah Suto akan terkena musibah seperti sakit bahkan bisa menjadikan gila (Zuba’I, 2012: 22).
Memang jika permintaan Mbah Suto tidak dipenuhi, maka orang yang mempunyai hajat akan diganggu oleh Mbah Suto. Misalnya saja, pernah ada keluarga yang hendak memiliki hajat namun tidak memberikan degan, kembang menyan, dan candu yang diletakkan di belakang mihrab, saat hajat berlangsung masakan yang dimasak oleh keluarga yang memiliki hajat tak kunjung matang. Ternyata saat itu Mbah Mawardi yang bisa melihat hal-hal yang bisa dikatakan gaib berkata, “Benar saja masakan tidak matang, dandangnya (kuali) saja diangkat Suto.” Dan masih banyak lagi kejadian yang terjadi apabila tidak menuruti permintaan Mbah Suto ketika ada hajat. Namun setelah pertarungan antara Mbah Mawardi dan Mbah Suto yang dimenangkan oleh Mbah Mawardi, Mbah Suto sudah tidak meminta degan, kembang menyan, dan candu kepada yang memiliki hajat. Sampai sekarang pun Mbah Suto tidak pernah mati karena wujudnya yang sekarang adalah setan.
Mitos desa Padurenan dapat disimpulkan bahwadalam berdakwah Mbah Syarif juga memiliki murid, diantaranya yang berada di desa Padurenan yaitu Mbah Suto dan Mbah Mawardi. Kedua santri ini memiliki sifat yang berlawanan. Mbah Suto terkenal dengan sifatnya yang suka nyandu sehingga pada akhirnya dia disabda oleh Mbah Syarif menjadi setan yang masih hidup sampai sekarang, sedangkan Mbah Mawardi adalah santri yang baik dan rendah hati. Nilai-nilai yang dapat diambil dari mitos desa Padurenan meliputi nilai kepatuhan murid terhadap guru, menghormati orang lain, nilai pelestarian budaya, menguatkan aqidah Islam dan percaya akan ke-Esa-an Allah SWT.

Larangan
Hukuman
Waktu Pelaksanaan
Mengabaikan permintaan Mbah Suto (degan, kembang menyan, candu) ketika ada orang yang memiliki hajat
Yang memiliki hajat akan diganggu Mbah Suto (misalnya saja masakan yang dimasak tidak kunjung matang
Ketika hajat berlangsung



E.     Epos Desa Padurenan
Epos adalah cerita kepahlawanan; syair panjang yang menceritakan perjuangan pahlawan.
Mauludan Jawian adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan di Padurenan setiap hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yaitu tepatnya pada tanggal 12 Robiul Awwal. Namun tidak hanya di bulan Robiul Awwal saja tetapi Mauludan Jawian paling tidak  juga dilaksanakan minimal satu minggu sekali pada saat pembacaan Albarzanzi. Disebut dengan Mauludan Jawian karena lagu-lagu dalam pelaksanaan Mauludan Jawian tersebut bernuansa Jawa. Lagu-lagu tersebut hampir mirip dengan lagu kinanthi dan lagu-lagu Jawa lainnya. Mauludan Jawian dilaksanakan dengan berzanji dan syaroful anam.
Mauludan Jawian dilaksanakan murni dengan suara, tanpa menggunakan alat seperti jidur, rebana, atau alat-alat musik Islam lainnya. Hal tersebut dilaksanakan agar pelaksana Mauludan Jawian khusyu’ dalam berdo’a. Mauludan Jawian mempunyai pengaruh terhadap rohani seseorang untuk menentramkan hati dan pikiran karena termasuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Pembawa tradisi Mauludan Jawian adalah Raden Muhammad Syarif. Beliau adalah putra bungsu dari Bupati Sumenep (Macan Wulung Yudonegoro). Awal kisah, Bupati Sumenep (Macan Wulung Yudonegoro) memiliki 2 putra. Ketika dikalahkan oleh Cokroningrat IV, putranya yang sulung dikalahkan bersama Belanda. Putra sulung tersebut tidak diketahui namanya secara pasti. Adapun putranya yang bungsu bernama Raden Muhammad Syarif. Setelah Raden Muhammad Syarif mengetahui bahwa kakaknya bersekutu dengan Belanda dan memfitnahnya, maka Raden Muhammad Syarif pergi mengembara dengan meninggalkan istrinya. Ketika itu Raden Muhammad Syarif belum memiliki keturunan. Pengembaraan Raden Muhammad Syarif tidak melewati jalur darat, melainkan melewati jalur laut (utara Jawa). Muhammad Syarif tidak membawa apa-apa melainkan hanya satu buah gentong, kitab kitab Al-Qur’an, baju pusaka, dan empat buah kelapa untuk membantu pengarungan laut Jawa. Dari Sumenep melewati laut utara terus ke barat sampai ke kabupaten Jepara dengan selamat.  
Raden Muhammad Syarif terus berjalan dan melewati daerah Mantingan, Syiripan, Mayong, Tunggul Syaripan, Gebog, Buloh, Geringging, Jurang, Ngepon, Manisan, Ngaringan, Gerjen, dan akhirnya sampailah Raden Muhammad Syarif di desa Padurenan.
Perjalanan Raden Muhammad Syarif sampai di Padurenan yaitu sekitar 300 tahun yang lalu, bertepatan dengan turunnya Pangeran Diponegoro. Setelah cukup lama tinggal di Padurenan, beliau tidak berkelana lagi dan sudah merasa nyaman berada di Padurenan. Beliau juga sudah berhasil dalam berdakwah, salah satu diantaranya yaitu tradisi Mauludan Jawian. Beliau membawa tradisi tersebut dari daerah Madura. Oleh karena itu, lagu-lagu Mauludan Jawian yang ada di Padurenan mirip dengan lagu-lagu Mauludan Jawian yang ada di daerah Madura.
Jadi dapat disimpulkan bahwa epos desa Padurenan adalah berupa tradisi Mauludan Jawian. Tradisi Mauludan Jawian dibawa oleh Raden Muhammad Syarif dari Madura yang dilaksanakan setiap hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yaitu tepatnya pada tanggal 12 Robiul Awwal. Dinamakan dengan Mauludan Jawian karena lagu-lagu dalam pembacaan berjanzi dan syaroful anam bernuansa Jawa. Lagu-lagu tersebut hampir mirip dengan lagu kinanthi dan lagu-lagu Jawa lainnya. Nilai-nilai yang dapat diambil dari epos desa Padurenan meliputi:
1)        Nilai religius yaitu terkait dengan ajakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun umat Islam
2)        Nilai budaya yaitu terkait dengan pelestarian tradisi Maulud Jawian yang berbeda dengan mauludan di daerah lain
3)        Nilai sejarah yaitu terkait bahwa Mauludan Jawian merupakan mauludan khas desa Padurenan yang diajarkan Mbah oleh Muhammad Syarif yang masih berlangsung sampai sekarang.
Larangan
Hukuman
Waktu Pelaksanaan
Meninggalkan tradisi Maulud Jawian
Mbah Suto kembali ke desa Padurenan
Setiap 12 Rabi’ul Awwal maupun rutin saat ada pengajian di musholla ataupun masjid
F.       Hasil Prosentase Observasi Mengenai Desa Padurenan
Ø  Prosentase Warga Desa Padurenan
Setuju              : 71 %
Kurang setuju  : 15 %
Tidak setuju    : 14 %
Ø  Prosentase Perpustakaan Daerah
Setuju              : 12,2  %
Kurang setuju  :  10%
Tidak setuju    : 24,4 %
Tidak tahu       : 53,4  %
Ø  Prosentase Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Setuju              : 58,3 %
Kurang setuju  :21 %
Tidak setuju    : 15,2 %
Tidak tahu       : 5,5%

            Kami membagikan angket kepada warga desa Padurenan, perpustakaan daerah dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dari hasil pembagian angket kami menghitung prosentase yang berkaitan dengan angket sejarah desa Padurenan. Dalam angket tersebut terdapat delapan belas pernyataan berkaitan dengan legenda, dongeng rakyat, mitos dan epos desa Padurenan. Dari pernyataan yang terdapat pada angket, penerima angket dapat memilih opsi antara setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Namun jika tidak memilih dari salah satu opsi tersebut, maka dianggap tidak tahu mengenai pernyataan yang ada.



BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Dinamakan desa Padurenan karena memiliki sebab-sebab yang mengacu pada nama Padurenan. Mengenai penamaan desa Padurenan terdapat tiga versi cerita, 1) Karena Mbah Syarif sebagai tokoh agama di daerah tersebut berasal dari Madura, maka dinamakan Madurenan dan menjadi Padurenan, 2) Karena dulunya di desa tersebut memiliki banyak pohon duren, 3) Karena berasal dari bahasa Jawa yaitu padu dan leren, maksudnya apabila di daerah lain terdapat masalah yang diperdebatkan/padu tidak selesai di daerah tersebut, namun jika dibawa ke Padurenan untuk dikaji, maka masalah yang diperdebatkan akan selesai/leren, sehingga dinamakan Padurenan.
Dongeng rakyat di desa tersebut terkait dengan pertarungan antara pihak yang baik melawan pihak yang buruk, antara Mbah Syarif dengan Mbah Rono dan antara Mbah Mawardi dengan Mbah Suto. Mengenai mitos yang ada di desa Padurenan masih sangat terkait dengan Mbah Suto, yaitu setiap ada hajat dari masyarakat desa tersebut, maka keluarga yang memiliki hajat harus memberikan degan, kembang sajen dan candu. Jika keluarga yang memiliki hajat tidak memberikan permintaan Mbah Suto maka saat berlangsungnya hajat akan diganggu oleh Mbah Suto. Namun, sekarang hal tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi.
Maulud Jawian merupakan sebuah tradisi yang berkembang di desa Padurenan yang dimulai sejak diajarkan oleh Mbah Syarif. Maulud Jawian berisikan pembacaan al-barzanji yang dilagukan dengan nada tembang jawa yang sangat khas dan berbeda dari daerah-daerah lainnya.
Ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat mengenai sejarah kebudayaan di suatu daerah menunjukkan kurang adanya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Karena kita ketahui bahwa pendidikan itu bukan hanya sekedar pengetahuan saja akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk kebudayaan.

B.     Saran
Meninjau kembali pada observasi mengenai desa Padurenan yang menunjukkan presentase pengetahuan masyarakat mengenai sejarah dari daerahnya sendiri sangatlah memprihatinkan. Sehingga perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat sejak dini mengenai sejarah kebudayaan dari suatu daerah.
Media sosialisasi dapat dilakukan dengan dua media yaitu melalui pencetakan buku yang memuat sejarah kebudayaan, dan kaset VCD yang memuat prosesi tradisi yang ada di desa Padurenan seperti posesi tradisi Mauludan Jawian. Sehingga dapat memudahkan masyarakat dalam mengkaji sejarahkebudayaan dan prosesi tradisi yang ada di desa Padurenan. Sehingga kekayaan budaya yang dimiliki desa Padurenan tetap lestari dan terjaga keasliannya.




Daftar Pustaka


Zuba’i, Ahsinillaits. 2012. Sejarah Desa Paduranan. Kudus: Pemerintah Desa Paduremam Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.